Bung Tomo pernah merasa sangat
bersalah dan menyesal karena menikah di saat panas-panasnya masa
revolusi. Karena merasa bersalah dia memasang iklan di suratkabar
seperti ini:
MENIKAH
Mengingat gentingnya masa, maka
perkawinan kawan kami Soetomo (Bung Tomo) dengan PI Soelistina, yang
akan berlangsung bertemunya nanti pada tanggal 19 Juni 1947 jam 19.00
tidak kami kehendaki akan dirayakan dengan cara bagaimanapun juga. Pucuk
pimpinan Pemberontakan menyetujui perkawinan kedua kawan seperjuangan
itu, berdasarkan perjanjian mereka,
- Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan itu, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk rakyat dan revolusi.
- Meskipun perkawinan telah dilangsungkan mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan rakyat dapat dihalaukan.
Kami akan berterima kasih bila kawan-kawan seperjuangan dari jauh berkenan memberikan berkah pangestu kepada kedua mempelai itu.
TETAP MERDEKA
Dewan Pimpinan Harian Pucuk Pimpinan
Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia
Jl. Rampai 75 Malang
Seolah-olah Bung Tomo merasa
sangat berdosa karena pernikahannya diadakan di tengah-tengah suasana
revolusi. Seolah-olah dia cuma mencari kenikmatan diri-sendiri dan
egois. Bung Tomo lalu mengucapkan janji bahwa ia bersama istrinya tidak
akan menjalankan hak dan kewajiban mereka sebagai suami istri sampai
ancaman terhadap kedaulatan Negara RI menghilang. Izin menikah mereka
dapatkan dari pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). BPRI
adalah sebuah ormas/lasykar pada masa revolusi.
Bung Tomo sangat mencintai
revolusi dan jihad sehingga mau mengorbankan diri supaya revolusi dan
jihad (cita-citanya) bisa sukses. Kejadian seperti ini hampir sama dengan yang dilakukan oleh Mahapatih Gajah Mada. Gajah
Mada bersumpah tidak akan memakan buah Palapa (makan yang lezat-lezat)
sampai Nusantara bersatu seluruhnya tanpa kecuali atau sampai
cita-citanya tercapai. Juga hampir sama dengan yang
dilakukan Mahatma Gandhi yaitu bersumpah tidak akan makan garam sampai
India merdeka atau sampai cita-citanya tercapai. Kita boro-boro bisa seperti Mahatma Gandhi. Kita kalau ada masakan kurang garam sedikit saja, lansgung merasa makanannya tidak enak.
Sebenarnya siapa tokoh ini?
Bung Tomo berasal dari keluarga santri (muslim taat). Bung Tomo menjadi sangat populer karena adanya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Bung Tomo ketika dilahirkan bernama Soetomo. Tanggal lahirnya 3 Oktober 1920 di Surabaya. Pendidikannya
biasa saja, Sekolah Rakyat. Ketika remaja Bung Tomo masuk menjadi
anggota PETA (Pembela Tanah Air) tentara yang dibentuk penjajah Jepang.
Peristiwa 10 November 1945
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Tiga hari sebelumnya Jepang menyerah kepada Sekutu.
Pada bulan September 1945 pasukan
Sekutu datang ke Indonesia. Mereka hendak melucuti tentara Jepang. Tapi
ada yang membonceng pada Sekutu. Merekalah tentara Belanda. Belanda
merasa Indonesia masih milik mereka. Padahal Indonesia sudah merdeka dan
rakyatnya tak mau dijajah lagi.
Sejak mendengar pengumuman
kemerdekaan Republik Indonesia, para pemuda Surabaya termasuk Bung Tomo
bersemangat mempertahankan kemerdekaannya. Mereka tak sudi tanah air
tercinta ini dijajah kembali oleh bangsa lain.
Para
pejuang Surabaya termasuk Bung Tomo (sejak tahun 1937 profesinya adalah
wartawan) melakukan aksi perlucutan senjata tentara Jepang. Ada yang
mudah dilucuti ada yang susah.
Pada
tanggal 19 September 1945 terjadi insiden Bendera di hotel Yamato
(Oranje kalau menurut sebutan Belanda) di Surabaya. Penyebabnya adalah
orang-orang Belanda yang baru lepas dari tahanan Jepang. Mereka
mengibarkan bendera kebangsaan mereka di atap hotel Yamato.
Keruan saja pemuda Surabaya marah. Mereka merobek bagian biru bendera Belanda sehingga yang tersisa tinggal merah dan putih.
Berbekal
senjata api dan bambu runcing pemuda-pemuda Surabaya menyerang Berlanda.
Seorang perwira Belanda tewas. Melihat kejadian itu, orang-orang
Belanda yang ada di situ lari tunggang langgang.
“Indonesia
Raya Merdeka merdeka tanahku negeriku yang kucinta…” rakyat yang masih
berkumpul di dekat hotel Yamato menyanyikan lagu Indonesia Raya dipimpin
Bung Tomo.
Pada awal
Oktober 1945 Bung Tomo pergi ke Jakarta. Alangkah kecewanya Bung Tomo
melihat sikap orang-orang Belanda yang tidak menghormati kemerdekaan
negara Republik Indonesia. Orang-orang Belanda berpawai di jalan dengan
mobil bersorak-sorai berteriak sambil mengibarkan bendera kebangsaan
mereka bagaikan orang yang baru menang perang.
“Kenapa Belanda bersikap seperti itu? Lalu mengapa kita diam saja?” tanya Bung Tomo kepada Soekarno-Hatta.
“Kami terpaksa membiarkan itu terjadi”, jawab Soekarno mengatasnamakan Soekarno Hatta.
“Kalau kami
melakukan tindak kekerasan kepada Belanda kami akan diserang oleh
Sekutu. Sementara kami sedang berusaha menerangkan secara baik-baik
kepada Sekutu bahwa Indonesia sudah merdeka”, lanjut Soekarno.
Ketika
kembali ke Surabaya, Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontak Rakyat
Indonesia (BPRI). BPRI bertujuan memperkokoh semangat rakyat
mempertahankan kemerdekaan. Sejak saat itu Bung Tomo yang mantan PETA
melatih anggota BPRI berperang dan menggunakan senjata.
Bung Tomo
juga mendirikan Radio Pemancar Pemberontak Rakyat Indonesia. Setiap
malam, lewat radio ini, dengan berapi-api, ia membakar semangat rakyat
Surabaya dan sekitarnya untuk bersatu mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Pada akhir
Oktober 1945, para pemuda Surabaya melihat semakin banyak pasukan Sekutu
mendarat di Surabaya. Para pemuda menjadi marah. Kemarahan mereka
memuncak ketika Kapten PJG Huijer dari AL Belanda dengan petantang-petenteng
memprotes pengibaran bendera merah putih kepada tentara Jepang. Tapi
protes ini tidak ditanggapi Jepang yang terjepit di antara RI dan
Belanda.
Rombongan
Huijerpun bermaksud kermbali ke Jakarta. Ternyata ketika melalui stasiun
kereta Kertosono rombongan itu dicegat pemuda dan dipenjara di
Kalisosok.
Tapi tak
lama kemudian Brigadir Jenderal Mallaby dari Inggris membebaskan Kapten
Huijer. Peristiwa ini membuat darah rakyat Surabaya bergolak. Ditambah
lagi sebuah pesawat Sekutu menjatuhkan selebaran yang isinya menuntut
rakyat Surabaya menyerahkan seluruh senjata yang mereka rebut dari
Jepang.
“Barang siapa membangkang akan dihukum mati!” demikian bunyi selebaran itu.
Segera Bung
Tomo lewat “Radio Pemberontakan” mengobarkan semangat pemuda Surabaya
dan mengajak mereka bersatu melawan Sekutu. Akhirnya pertempuran
sengitpun tak terelakkan. Berkat pidato Bung Tomo, rakyat Surabaya
mendapat bantuan dari rakyat sekitarnya untuk mempertahankan kedaulatan
kota Surabaya. Brigadir Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran tanggal
29 Oktober 1945 itu.
Pada
tanggal 9 November 1945, sekali lagi tentara sekutu mengeluarkan
perintah agar pemuda-pemuda Surabaya menyerahkan senjata besok pagi-pagi
sekali. Pemuda Surabaya diperintahkan pula meletakkan tangan di atas
kepala sebagai tanda menyerah.
Pemuda dan Rakyat Surabaya yang
penuh izzah (harga diri) tidak menerima penghinaan ini. Mereka
berpedoman “hidup mulia (merdeka) atau mati syahid”. Apalagi pidato Bung
Tomo menceritakan untuk berjuang karena Allah dan meminta pertolongan
Allah. Barang siapa mati, maka ia akan mati syahid.
Presiden Soekarno pada awalnya
tidak menghendaki perang dengan Sekutu. Tapi kemudian ia menyerahkan
sepenuhnya kepada kebijakan pemerintah daerah Jawa Timur.
Pada tanggal 9 November jam 11
malam, setelah rapat dengan jajaran pemerintahan daerah Jawa Timur
Gubernur Soerjo mengucapkan pidatonya yang terkenal, lewat Radio
Republik Indonesia Surabaya,
“Saudara-saudara sekalian, Pucuk
pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa
di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga
semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.
Semua usaha kita untuk berunding
selalu gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita
harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani
menghadapi segala kemungkinan.
Berulang-ulang telah kita
kemukakan bahwa sikap kita adalah: lebih baik hancur daripada dijajah
kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita
akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.
Dalam menghadapi segala
kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat
antara pemerintah, rakyat, dan TKR, Polisi dan semua badan-badan
perjuangan pemuda dan rakyat kita.
Mari kita semua memohon kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kita sekalian mendapatkan kekuatan lahir
dan batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan.
Selamat berjuang!”
Keesokan harinya yaitu tanggal 10
November 1945 sekutu marah dengan penolakan penyerahan senjata oleh
seluruh rakyat Surabaya. Pertempuran hebatpun tak terhindarkan. Surabaya
diserang sekutu lewat darat, laut dan udara. Bung Tomo lewat siaran
radionya memberi aba-aba untuk mulai memberikan perlawanan terhadap
sekutu.
Bung Tomo memberi semangat sambil berteriak, “Allahu Akbar!” berkali-kali.
Teriakan ini diikuti oleh para pejuang, “Allahu Akbar!”
Tentara Inggris kecut hatinya.
Sekitar 3000 tentara Gurkha yang muslim dipimpin Zia ul Haq (nantinya
menjadi presiden Pakistan) melakukan desersi. Mereka menolak memerangi
sesama muslim karena ukhuwah islamiyah. Mereka baru tahu Indonesia
muslim setelah mendengar teriakan “Allahu Akbar”.
Pertempuran berlangsung selama 5
hari 5 malam. Sekutu menderita kerugian amat banyak. “Pertempuran
terdahsyat Sekutu sejak Perang Dunia II,” kata C.C. Mansergh, komandan
Sekutu.
Bung Tomo dan Resolusi Jihad
Apakah hanya Bung Tomo tokoh sentral dalam
peristiwa Surabaya? Tidak! Di atas tadi sudah disebutkan peranan
Gubernur Jawa Timur, SUrjo yang menginstruksikan perang kepada Rakyat
Surabaya. Ada juga peran Hadratus SYaikh K. H. Hasyim Asy’ari pendiri
dan Rais Aam pertama Nahdhatul Ulama. Berdasarkan penuturan orang-orang
yang dekat dengan Hadratus Syaikh dikatakan bahwa jauh sebelum peristiwa
SUrabay terjadi Bung Tomo sering sowan ke Hadratus Syaikh untuk meminta
restu dan dukungan dalam memerangi Belanda, Inggris dan Jepang.
(majalah Hikayah, Edisi 10 Th. IV, Desember 2005 hal. 55) Hal ini juga
disebutkan oleh Sejarawan Ahmad Mansyur SUryanegara dalam bukunya APi
Sejarah jilid 2.
AKhirnya Hadratus Syaikh menjawab tantangan itu
setelah menggelar SYuro (Musyawarah) dengan kiai-kiai sepuh NU yang
lain juga dengan pemuda-pemuda NU yang bergabung dalam Anshor Nahdhatul
Ulama dengan mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad Nahdhatul Ulama tanggal
22 Oktober 1945. Resolusi Jihad memutuskan bahwa perang melawan Belanda
yang hendak menjajah kembali Indonesia dan Inggris yang membantunya
sebagai jihad fi sabilillah dan wajib bagi segenap umat Islam. Mati
dalam melakukan perang ini adalah mati syahid.
Kemudian dalam Kongres Umat Islam (muktamar
Umat Islam) tgl 7 November di Yogyakarta menghasilkan resolusi 60
miljoen umat Islam siap berjihad fi sabilillah dan mendukung rsolusi
Jihad Nahdhatul Ulama.
Bung Tomo pun menjadi bertambah semangatnya
untuk berperang melawan sekutu dan NICA Belanda yang meboncengnya.
Hadratus SYaikh Hasyim Asy’ari memerintahkan kepada Bung Tomo agar
jangan melakukan perang besar-besaran kepada sekutu sebelum datangnya
pemimpin Pondok Pesantren BUntet, Cirebon yaitu KH Abbas dan anaknya KH
ANas yang dianggap paling ahli dalam kitab Perang Jihad Fi Sabilillah
dan diyakini sebagai salah seorang wali. Ternyata KH ABbas, KH ANas dan
santri pesantren Buntet tiba di Surabaya sebelum 10 November 1945
sehingga pada peristiwa 10 November 1945 Bung Tomo menjadi yakin untuk
melancarkan perang jihad fi sabilillah. Ternyata berkat resolusi
jihadiini berbondong-bondong kiai dan santri dan Jawa Tengah, Jawa
Barat, Banten, Jakarta, apalagi Jawa Timur bergerak menuju Surabaya
untuk berpartisipasi dalam Perang Sabil di Surabaya. Ya! Beberapa media
massa nasional pada masa itu menyebut perang di Surabaya yang sudah
dimulai sejak Oktober 1945 sebagai Perang Sabil atau Perang fi
Sabilillah.
sayangnya peran pala ulama yang berjihad fi sabilillah seakan 'dihilangkan' oleh pemerintah masa itu akibat adanya arus moderinisasi dan menghilangkan bekas-bekas perjuangan kaum ulama dan para santri.
Sejak saat itu tanggal 10 November
ditetapkan pemerintah RI sebagai hari Pahlawan. Bung Tomo sendiri
meninggal (syahid) setelah mengalami kemerdekaan selama 36 tahun.
Tepatnya tanggal 7 Oktober 1981, di padang Arafah ketika naik haji.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar